Thursday 24 February 2011

Kategori:

Cinta Tulus #3-4

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!”

Mula-mula dokter kandungan Nania memasukkan obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu salat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan salat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

“Baru pembukaan satu.”

“Belum ada perubahan Bu.”

“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian.

“Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki selera humor tinggi. Tiga puluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab, dulu-dulu, kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

“Masih pembukaan dua Pak!”

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

“Bang?”

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

“Dokter?”

“Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekuatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi.

Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan. Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan keterampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

“Pendarahan hebat.”

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania, yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat. Ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu menakjubkan. Fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit. Sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya, pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan ijin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang, perawat dan pengunjung lain, yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya, meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

“Nania, bangun Cinta?”

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi, dan kening istrinya.

Ketika sepuluh hari berlalu dan pihak keluarga mulai pesimis dan berpikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya. Kadang, lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu sambil tak bosan-bosannya berbisik, “Nania, bangun Cinta?”

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu, Rafli tak memedulikan yang lain. Tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusiasme perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ke-37, doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama, Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam, Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik, meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania. Membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu, Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun, Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania kesana-kemari. Masih dengan senyum di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-temannya, tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh. Semua berbisik-bisik.

“Baik banget suaminya!”

“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”

“Nania beruntung!”

“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”

“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya. Kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikitpun tak pernah bermuka masam!”

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa, dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik. Barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Dua puluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua; anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia. Meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Loga Aritma Gitaningtias, mahasiswa Fakultas Hukum.

0 comments:

Post a Comment