Monday 18 June 2012

Kategori:

Beb Vuyk, Sastrawan Belanda dari Pulau Buru

Tahun 1982, saya memeriksa katalog Perpustakaan Daerah Maluku di Soya Kecil Ambon. Mata saya berhenti pada judul yang menggoda. Sebuah Rumah Nun di Sana. Buku itu diterjemahkan Gadis Rasyid dari novel Het Laatste Huis van de Wereld, karangan Beb Vuyk. Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Pustaka Jaya, 1975. Saya membaca novel itu berkali-kali dengan segenap kenikmatan dan kegetiran. Belakangan barulah saya tahu, Beb ternyata seorang wartawan dan sastrawan terpandang di Belanda. Dia dianugerahi sejumlah penghargaan bergengsi. 

Andai Beb Vuyk masih hidup, tentu hari ulang tahunnya kemarin dirayakan secara meriah. Beb lahir di Rotterdam 11 Februari 1905, meninggal dunia di Blaricum, 24 Agustus 1991. Penghargaan terakhir diterimanya justru ketika Beb sudah pikun dan hanya duduk di kursi roda. Sebuah artikel di koran Belanda menulis, sastrawan itu tidak pernah tahu bahwa buah karyanya mendapat penghormatan besar. Dua kali, Beb pernah kembali ke Indonesia dan melakukan napak tilas ke Pulau Buru. Dia tercengang melihat hutan belantara telah berubah menjadi kampung dan sawah. 

Beb bernama lengkap Elizabeth Vuyk. Ayahnya bernama Vuyk, seorang insenyur perkapalan kelahiran Hindia Belanda. Ibunya Rotsheid, kelahiran Prancis dari kaum puritan. Kakek Beb bernama Klassvuyk, seorang pemilik perkebunan kopi di Bandawoso, Jawa Timur. Klassvuyk selain beristri Belanda, juga punya seorang selir, yakni Nyai Kinah asal Madura. Kinah melahirkan tiga anak. Salah satunya Vuyk, ayah Beb.

Darah campuran dan kulit coklat dan diejek negro, bahkan oleh ibu kandungnya sendiri, membuat Beb punya kirinduan melihat Hindia Belanda, tempat lahir ayahnya. Sebab itulah, meskipun sudah menjadi penulis di Belanda, pada tahun 1929 dia menumpang kapal Jan Pieterszoon Coen ke Hindia Bdanda. Tiba lebih dulu di Sukabumi, Beb bekerja di sebuah panti asuhan yatim piatu. Tiga tahun kemudian, barulah ia menikah dengan Fernand de Willigen. Pemuda berdarah Belanda-Ambon itu lahir di Hindia Belanda, bekerja sebagai pegawai perkebunan di Pagilaran, Jawa Tengah. 

Ketika krisis ekonomi dunia melanda Hindia Belanda, Fernand terkena PHK. Uang pesangon dipakainya untuk berlayar ke Pulau Buru. Di sana Ibu Fernand meninggalkan warisan konsesi penebargan kayu dan 90 hektar tanah. Di tanah itu, ada terdapat aneka tanaman perkebunan dan instalasi penyulingan minyak kayu putih yang sudah lama terlantar. 

Selama berada di Hindia Belanda, Beb menjalin persahabatan dengan Sutan Sjahrir, Bung Karno, dan juga para sastrawan dan wartawan. Penulis terkenal E. du Perron adalah orang yang memperkenalkan Beb kepada Sjahrir. Sebab itu, dia menaruh simpatik kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beb sempat kena imbas perang. Ketika Jepang menguasai Maluku, Beb juga menjadi tahanan di kamp konsentrasi di Bandung.

Meskipun sangat mencintai Indonesia dan memilih menjadi warga Indonesia, Beb kemudian kembali ke Belanda setelah Indonesia Merdeka. Di Belanda, ia menulis banyak artikel di media massa. Tulisan dari pengalaman selama di Indonesia sangat diminati. Beberapa karya sastranya adalah kisah-kisah dari Indonesia. Het Laste Huis van de Wereld adalah kisah dari Pulau Buru, tentang kehidupannya di tepi Teluk Kayeli. 

Karangan-karangannya yang terkenal sebagai karya sastra dan non sastra adalah De wilde groene geur, Het hout van Bara, Gerucht en geweld, De eigen wereld en die andere, Een broer in Brazilië, Verzameld werk, Groot Indonesisch kookboek, Vegetarische recepten uit de Indonesische keuken, Reis naar het Vaderland in de verte (travel stories), dan Kampdagboeken (Camp diaries). Dia menulis masalah-masalah kemasyarakatan secara serius, tetapi juga menjadi seorang penulis kuliner, makanan khas Indonesia dan Maluku. Karya kulinernya bahkan meledak di pasaran Belanda.

KEGETIRAN
Kisah hidup Beb sebenarnya penuh kegetiran. Dia mengalami diskriminasi karena keturunan Indo. Warna kulitnya yang tidak seratus persen bule melainkan agak kecoklatan, adalah sebuah problema rasis masa itu. Kehidupan di Pulau Buru, adalah benar-benar sebuah pengalaman di ujung dunia. Beb menulis bagaimana dia tinggal dengan dua anak yang masih kecil di dekat hutan. Sang suami bekerja di perusahaan konsesi minyak kayu putih, berlayar dengan kapal KPM (Koninkluke Paketvaart Maatchappij). Berminggu-minggu baru kembali.

Bila malam tiba, suara binatang liar, burung hantu, dan cerita tentang suangi-suangi menari di bawah bayangan purnama adalah sebuah pengalaman mendebarkan. Apalagi, ketika sendiri di rumah, ada pria tinggi setengah telanjang mengendap ke dalam rumah dan bersembunyi di belakang lemari. Beb mengisahkan, pria yang hanya pakai cawat itu adalah suku Alifuru, yang datang meminta tembakau.

Beb kerap disetarakan dengan Maria Dermoût, perempuan Belanda yang dijuluki Bung Karno sebagai Ibu Maluku. Namun Beb berpendapat, kehidupan dramatik Maria Dermout tergolong elit karena berada di tengah suasana instalasi perawatan penyakit kusta di Maluku Utara. Ada banyak orang dan fasilitas di sekitar Maria Dermoût, jadi tidak seekstrim Beb di dekat rimba dan penduduk pribumi yang lebih primitif. 

Dalam novel-novelnya yang berisi pengalaman di Buru dan tempat lain di Hindia Belanda, Beb menyelipkan kritik tajam kepada Belanda. Misalnya mengenai penerapan harga beli minyak kayu putih di tingkat petani. Beb memprotes suaminya bahwa, Belanda menipu penyuling minyak kayu putih dengan menyatakan harga minyak kayu putih di Eropa sedang anjlok. Sebab itu, Belanda leluasa membeli dengan harga murah, dan menjual ke Eropa dengan harga mahal. Padahal, menurut Beb, suatu ketika kapal pengangkut minyak kayu putih tenggelam dalam perjalanan ke Eropa, mestinya minyak kayu putih menjadi langka dan mahal di Eropa. Justru saat itu, harga di Pulau Buru, ditekan serendah-rendahnya. Beb marah, ketika itu.

Korespondensi dan komunikasinya dengan Sutan Sjahrir, juga melalui novel-novelnya, Beb telah memberikan dorongan bagi kemerdekaan Indonesia karena ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Sayangnya, ketika Indonesia Merdeka, sentimen anti Belanda sangat kuat. Beb menerima akibatnya. Dia tetap dianggap sebagai Belanda. Kedua anaknya juga tentu lebih getir. Mereka adalah anak-anak indo. Dalam tubuhnya, mengalir darah campuran Belanda, Madura dan Ambon. Tapi situasi pasca revolusi Indonesia membuat mereka harus meninggalkkan Maluku.

Beb menggambarkan hari-hari terakhir di Pulau Buru dengan penuh kesedihan. "Aku melihat anak-anakku berlari di atas pasir putih. Riang sekali. Mereka tidak pernah tahu, tak satupun butiran pasir itu milik mereka," tulisnya dalam Het Laatste Huis van de Wereld. 

Pulau Buru, bagaimanapun adalah sebuah dunia yang telah melahirkan para sastrawan besar. Pramudya Ananta Toer, Hesri, Beb, dan banyak tokoh progresif. Rekaman sejarah dan reportase dari Pulau Buru telah membentangkan realitas yang pilu. Banyak yang telah berubah di Pulau Buru, tapi banyak orang Buru masih miskin.

(Dari berbagai sumber)

0 comments:

Post a Comment