Saturday 11 June 2011

Kategori:

Filosof dari Salatiga

Ki Ageng Suryamentaram (KAS) lahir 22 Mei 1892 sebagai putra Sultan Hamengku Buwana VII dengan garwaampil BRA Retnomandoyo (puteri Patih Danuredja VI). Perlu diketahui bahwa Sultan HB VII, yang dijuluki “Sinuhun Behi,” berputra 78 orang dari 3 permaisuri dan 18 garwaampil. KAS adalah putra ke-55. KAS menyelesaikan sekolah dasar dan klein ambtenaar di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mulai berfilsafat tahun 1921 lewat Perkumpulan Selasa Kliwonan. Karena alasan pribadi ingin bertemu “orang,” ia menanggalkan kepangeranannya tahun itu juga, dan menetap di Kroyo Bringin, Salatiga, sebagai petani sejak tahun 1925.

KAS juga dikenal sebagai Ki Ageng Bringin (KAS kerap dikelirukan orang dengan KRT Purwonagoro yang dijuluki “Ki Ageng Macanan” di Kauman Kidul — makamnya di Sidamulya, Salatiga).

Tahun 1959, dalam kegiatan ceramah kelilingnya di Dukuh Sajen, Semowo (10 kilometer arah timur laut Salatiga) KAS jatuh sakit, dan wafat di Yogyakarta tahun 1962. KAS akhirnya dimakamkan di Kagotan, Imogiri, DIY). Walau berdiam di Bringin, namun orientasi kegiatan dan orientasi spiritual budayanya tetap berkiblat ke Yogyakarta, antara lain sebagai anggota Perkumpulan Pangeran (Princes Bond) dan Perkumpulan Selasa Kliwonan.
KAS menjadi penceramah keliling untuk wilayah Salatiga dan sekitarnya, Madiun, Magelang, dan beberapa wilayah Pantura, seperti Semarang dan Kudus. Substansi wejangannya yang berinti logikopsikologi Jawa dijabarkan, antara lain dalam spektrum kepenuhan hidup dan manusia merdeka, pendidikan, rasa kebangsaan, dan matapencaharian. Wejangannya dikenal sebagai “kawruh begja,” “ilmu bahagia.” Metafora terkenalnya: “mulur mungkret.” KAS adalah tokoh pendidikan luar sekolah dan pendidikan orang dewasa di pedesaan zaman itu, cukup berbeda dengan Taman Siswa (didirikan 1922 — KAS ikut membidaninya). Pengaruh ajarannya semakin berkurang seiring jaman dan perkembangan alat komunikasi.

KAS bergaul terbuka dengan tokoh pemikir agama-agama dan para “politisi” serta telah mengomunikasikan idenya dengan banyak kalangan. Di Salatiga, tahun 1925-1959, pelbagai diskusi insidental (disebut “jonggringan”) tentang ajaran Kawruh Jiwa KAS (KJ KAS) dilakukan antara lain di Kemiri, Krajan, Kalisombo, dan Tamansari. Namun sejak 1999, kegiatan tersebut dilakukan di Jalan Muria 167 Karanganyar, Salatiga. Waktunya setiap hari Minggu (minggu ketiga) jam 2 hingga 5 sore. Gratis. Sebagian substansinya menjadi bagian perkuliahan Filsafat Manusia di FISIPOL UKSW (bekerjasama dengan UMS Solo, ICU Tokyo, dan Pusdiklat Kawruh Jiwa Pedan Klaten). Komunitas Pelajar Kawruh Jiwa Salatiga memiliki Buletin Kawruh Jiwa (2002-2004), yang sejak 2004 tidak lagi terbit, dan diganti dengan Buletin Kegiatan Jonggringan (terbit bulanan). Seorang pendukung juga membuat website. Kegiatan Jonggring Salaka Agung I 1932, semacam pertemuan regional di antara warga KJ, dilangsungkan di Salatiga.
Publikasi tentang Kawruh Jiwa berbahasa asing, antara lain ditulis oleh Clifford Geertz (USA, 1960), Marcel Bonef (Perancis, 1970-an), dan Someya Yoshimichi (Jepang, 1990-an).

Dasar filsafat
Kawruh Jiwa (KJ) sebagai “filsafat” lahir dari serentetan wejangan KAS dalam bentuk ucapan atau metafora, hasil permenungan, penyimpulan, dan pengkristalan pengalaman hidup KAS sendiri (antara lain di Salatiga). Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa ia adalah seorang acarya (guru spiritual — Red). KAS juga seorang fenomenolog.

Dasar falsafah KJ adalah empat karya pemikiran KAS ketika bermukim di Bringin, Salatiga, yakni Uran-uran Begja (1928), Wejang Kawruh Begja Sakwetah (1931), Kawruh Bab Kawruh (1933), dan Kawruh Thukulan Jagad (1933) sebagai sintesis dari tiga tulisan sebelumnya. Keempat tulisan KAS tersebut berpengaruh terhadap pelbagai tulisan permenungannya tahun 1935-1959, serta menjadi tema umum pertemuan Jonggring Salaka Agung (semacam konferensi nasional KJ) sepanjang tahun itu.

Uran-uran Begja adalah kumpulan tembang yang mengekspresikan makna petunjuk tentang adanya kasunyatan rasa pada setiap orang. Apabila dipahami dengan benar, akan membuahkan metodologi ke arah rasa begja. Wejang Kawruh Begja Sakwetah berinti wejang bahwa kita harus menghadapi individu lain sebagai ia seutuhnya (sakwetah). Pemahaman pokok isinya membuahkan rasa begja bila berhubungan dengan orang begja lain. Konteks hubungan demikian itu akan memunculkan rasa kepenak-ngepenakake, tenggang rasa, dengan dasar perirasa ketika “mengada” bersama orang lain. Kawruh Bab Kawruh berisi wejangan tentang pelbagai bentuk kita “mengada” dalam wujud. Bahasannya antara lain, bagaimana memelihara jalan pikiran sakwetah sebagai cara agar kita bisa menemukan jalan pikiran para orang begja.
KJ dengan ciri-cirinya di atas adalah medium pasinaon tentang raos bagi kramadangsa individu tentang adanya pemilahan antara “makna” (teges) dengan “catatan.”

Makna berisi petunjuk, ketetapan, dan pengertian tentang pelbagai kebutuhan dalam komunitas dan dunia orang. Itu semua adalah substansi pembelajaran agar mengerti, merasa, dan tahu tentang rasa begja, hidup tenteram-tatag-damai, dan tentang bebrayatan yang cukup-benar-menyenangkan. Seluruh pokok ini ditulis KAS dalam Kawruh Thukulan Jagad (1933) yang tak lain adalah kumpulan perenungan yang berinti bahwa kramadangsa perlu dicocokkan dan diuji hingga menghasilkan petunjuk praktis sebagai acuan rasa. Kesimpulannya, kita harus memahami setiap orang sebagai “ia seutuhnya,” lewat raos dan weruh.

Catatan diartikan sebagai pelbagai konsep di bawah sadar individual yang kemudian mempengaruhi keputusan mereka ketika lelawanan (perjumpaan) dengan masalah bab. Catatan terbentuk dari pelbagai konsep atau informasi yang berasal dari: (a) pelbagai ketetapan, adopsi pemikiran atau perasaan orang lain berbasis agama, kepercayaan, ajaran dan politik; (b) perjumpaan dengan pelbagai masalah keseharian yang umumnya dibangun individu masyarakat berdasarkan prinsip rasa menang (ungkul), rasa takut, kultus, ngotot, dan keterpaksaan; (c) perjumpaan dengan struktur bangun masyarakat yang merepresentasikan situasi dunia hasil revolusi ilmu pengetahuan, teknologi, ataupun ideologi.

Karena catatan hadir pada setiap orang, maka muncul dampak (seolah) pada setiap orang (itu) selalu terbebani rasa celaka, selalu ada atau terbelit masalah kehidupan, serta adanya kungkungan garis nasib (lelampahan).

Kristal empat tulisan KAS (1928-1933) adalah munculnya konsep-konsep “pisau analisis” untuk memahami adanya tiga unsur (sebab akibat) rasa celaka pada setiap orang, masalah kehidupan, dan garis nasib. Ketiganya berhubungan dengan konsep “catatan.”

Empat tulisan utama periode 1928-1933, merupakan dasar tulisan lanjut KAS periode 1935 hingga akhir hayatnya pada 1962. Tulisan-tulisan tersebut berisi rincian aplikatif konsep KJ dalam tiga pokok-besar: hidup, ide manusia unggul (manusia tanpa tenger), dan perjumpaan (pethukan).
Dalam subpokok hidup, dibicarakan hakikat-hakikat dari matapencaharian (pangupa jiwa), perkawinan (laki rabi), seks (birahi), dan pendidikan (pamomong) yang ditulis pada 1935. Pokok tersebut diperjelas lagi pada 1936 untuk menggambarkan watak isi dari kramadangsa sebagai kramadangsa umum dan khusus, dalam konteks wujud kramadangsa gemblengan pada 1937. Ketiga tulisan ini cocok menjadi dasar dan baik untuk diaplikasikan ketika seseorang lelawanan atau pethukan dengan tiga unsur penyebab manusia tertekan “catatan,” bukan “kawruh,” sehingga mereka tersituasikan menggendong rasa celaka, bermasalah dalam kehidupan, dan terkungkung oleh nasib lelampahan.

Ketiga tulisan tersebut difokuskan untuk merealisasi pengendalian kramadangsa, sehingga muncul sub-subpokok ide manusia unggul. Manusia unggul memiliki inti orang yang identik dan lebur dalam keinginan saling membantu mencapai kebahagiaan bersama, sakwetah, dan sejajar pada dasar prinsip kepenak-ngepenakake. Konsep itu disebut sebagai Ukuran IV pada 1953. Penerimaan konsep Ukuran IV disebut sebagai benih mekarnya KJ tahun 1954. KAS kemudian menulis bagaimana latihan-latihan untuk mencapai dan menumbuhkan Ukuran IV (dilaksanakan tahun 1956). Dengan penguasaan substansi dan metodik Ukuran IV, seseorang siap menjadi manusia unggul yang lentur mengaplikasi prinsip kepenak-ngepenakake. Hidupnya menjadi lebih tenteram, tatag, dan damai ketika berhadapan dengan bab di dunia ini (yang berprinsip ungkul-ungkulan, rasa takut, kultus, dan keterpaksaan). Atau ketika mereka menghadapi perubahan sosial disebabkan oleh pelbagai perubahan, misalnya teknologi, kependudukan, politik pemerintahan, dan ideologi.

Keenam pokok pemikiran KAS periode 1935-1956 hanyalah sebuah perspektif cara urai agar diperoleh pembulatan, tentang pentingnya penguasaan konsep Ukuran IV pada setiap orang yang belajar KJ, dan menghasilkan satu metode tertentu untuk mawas diri atas gambar dan pola laku kramadangsa mereka. KAS kemudian menulis Evaluasi Latihan Ukuran IV pada 1957, Mawas Diri pada 1958, dan Pethukan, yang belum selesai karena KAS keburu sakit dan meninggal tahun 1962.

Dengan tiga tulisan terakhir ini, KJ telah memberikan dasar kokoh filsafatnya, filsafat rasa pada manusia. Filsafat itu bisa diaplikasikan sebagai alat pethukan dalam rangka pemaknaan, bila terjadi bab ketika dirinya merasa: 
(a) tertekan catatan, bukan kawruh; 

(b) tersituasikan seolah selalu menggendong rasa celaka; 

(c) bermasalah dalam kehidupan ketika diri mereka merasa terpenjara oleh nasib lelampahan.
Tiga belas tulisan KAS tentang KJ periode 1928-1959, telah meletakkan dasar filsafat dan metode latihannya. Pelbagai tulisan tersebut sebagian telah dibukukan dalam bahasa Jawa (4 jilid) dan bahasa Indonesia (3 jilid). Edisi bahasa Indonesia kini dicetak lagi oleh Penerbit Grasindo, Jakarta.
Sifat khas filsafat Kawruh Jiwa (KJ), antara lain adalah:

(a) medium pembelajaran (pasinaon) bagi semua orang tentang rasa (raos);

(b) bukan agama, bukan kepercayaan, bukan kebatinan atau klenik, bukan perguruan, bukan pelajaran tentang baik dan buruk, dan bukan organisasi politik. KJ tidak phobia, melakukan keberpihakan pro-kontra, atau membuat sesuatu “yang baru” berkenaan dengan hal itu semua. KJ bukan agama, berarti berisi watak tidak demen atau sengit terhadap agama, sehingga KJ tidak akan membuat agama baru. Karena KJ bukan kepercayaan, ia juga tidak demen atau sengit terhadap kepercayaan, dan tidak akan membuat kepercayaan baru; 

(c) KJ adalah “barang baru” yang memperkenalkan pasinaon tentang bagaimana memelihara jalan pikiran, dan memelihara alur jalan rasa (orang) sakwetah dan holistik pada subyek diri manusia senyatanya yang berpikir, dan mempertemukan orang dengan sesama orang atas dasar perirasa.

Relevansi KJ untuk Salatiga
Selama ini Salatiga dikenal sebagai “tempat aman.” Tidak pernah muncul huru-hara, kota pensiunan, dan “kota hati beriman,” sehingga akan lebih baik jika anggota masyarakatnya juga mengenal logikopsikologi Jawa KAS yang mengidamkan munculnya masyarakat windu kencana, satu masyarakat tangguh beranggota manusia begja dengan inti orang bersifat adil dan kepenak-ngepenakake. KJ dengan filsafat rasanya cukup baik memberikan jalan kondisi kebudayaan bagi munculnya masyarakat madani di Salatiga. KJ KAS telah memiliki cara untuk mentransformasikan kesadaran dari seseorang biasa menjadi manusia begja, antara lain dengan mengaplikasikan dalam kehidupan keseharian 12 wejangan KAS dan beberapa metafora, antara lain sebagai berikut: 

(1) Ora ana kepenak sakliyane ngepenakake liyan. Tidak ada rasa enak selain mengenakkan orang lain; 

(2) Awake dhewe kramadangsa iku galak lan ampuh utawa sakwenang-wenang, iku padha saben wong. Aku kramadangsa bersifat galak dan ampuh atau sewenang-wenang, itu sama pada setiap orang. 

(3) Gegayuhan iku mung tutupe, kosokbaline awake dhewe sing nyata. Keinginan atau cita-cita (gegayuhan) adalah tutup, yang nyata adalah aku (kramadangsa); 

(4) Wong sulaya padha rumangsa bener, rumangsa bener iku sulaya. Para penyimpang (wong sulaya) merasa benar, padahal merasa benar itu sendiri (adalah) menyimpang (sulaya); (5) Utama iku nistane tanggane. (Tetapkan ukuran) utamamu setingkat dengan ukuran paling bawah (nista) dari tetapan ukuran tetangga. 

(6) Jalaran wedi weruh awake dhewe, wong banjur trima nggambar awake dhewe sing bagus nanging ora nyata. Karena takut terhadap realitas diri sendiri, orang kemudian membuat gambar citra diri, tetapi semu; 

(7) Yen ora duwe mungsuh ya ora duwe kanca, dadi kanca iku musuh. Bila tidak memiliki musuh berarti tidak memiliki teman, maka teman itu musuh; 

(8) Musuh iku titahe awake dhewe. Musuh itu cermin diri kita, galak dan ampuh; (9) Ana gegayuhan ana musuh. Ada keinginan atau cita-cita (gegayuhan) berarti ada musuh; 

(10) Ngalem nyacad iku bodho. Memuji atau mencela itu bodoh;

(11) Tiru-tiru iku ora tiru jalaran sing ditiru ora tiru-tiru. Meniru itu tidak akan persis hasilnya, sebab yang ditiru tidak meniru;

(12) Neja gawe ora kepenak ing liyan iku wis ora kepenak. Sengaja membuat orang lain tidak enak itu (sendiri) sudah tidak enak.

Pelbagai metafora itu antara lain: “langgeng bungah susah,” “salumahing bumi, sakureping langit, punika mboten wonten barang ingkang pantes dipunaya-aya dipunpadosi, utawi dipunceri-ceri dipuntampik.”

Metafora puncak filsafat KJ berbunyi, “Aku, ana, weruh, pribadi. Jagad lan karep isiku. Awang-uwung lan jaman tebaku. Saknya baku ora ono apa-apa.” Terjemahan bebasnya, ”Aku mengada, tahu, pribadi. Dunia dan kehendak isiku. (Hadir) melingkup pada sembarang jaman dan zarah ruang dan waktu. Di luarku adalah kekosongan dan ketiadaan.” Metafora terakhir bisa dianggap sebagai kredo KJ. Metafora lain yang cukup mengenakkan untuk manajemen kalbu adalah “menjalani hidup saat ini, di sini apapun bentuk wujudnya, aku mau” dengan ukuran kualitas subjektif enam sa: sakkepenake, sakbutuhe, sakperlune, sakcukupe, sakmesthine, dan sakbenere.

Prospek
Kegiatan jonggringan oleh Komunitas Pelajar Kawruh Jiwa Salatiga dimaksudkan, antara lain, mencari dasar nilai untuk penyelenggaraan posyandu lansia dan pembinaan remaja berbasis komunitas. Nilai yang dicari adalah nilai-nilai yang mendukung ketegaran, tatag, melakoni hidup hari ini sebaik-baiknya. Nilai tersebut muncul paling tidak dalam formulasi 12 wejangan KAS dan beberapa metafora di atas.

Dari pengamatan penulis selama 4 tahun berjalan, dan laporan penelitian selama ini, aplikasi harian terhadap wejangan dan metafora-metafora tersebut membuahkan kesejahteraan psikologis dengan indikasi naiknya kualitas (rasa) pribadi dalam ketangguhan, optimisme, keunggulan, dan berempati (Nanik Prihartanti, UMS Solo, 2003). Dan mengurangi munculnya “penyakit” psikosomatik (Someya Yoshimichi, ICU Tokyo, 2001).
Namun penyebaran dan aplikasi praktis pembelajaran KJ KAS dirasa cukup sulit dilaksanakan karena aspek finansial, internal kelembagaan, dan struktural kemasyarakatan. Terutama pandangan sebagian anggota masyarakat bahwa KJ identik dengan Kejawen. Ada pula anggapan bahwa KJ KAS berpandangan anarkis-damai. Padahal, isinya membahas logika dan psikologi berfondasi masyarakat Jawa.

Para pejabat (kebanyakan juga) cukup alergi dengan kegiatan bersifat nonagama yang diakui negara dan filsafat kebudayaan lokal. Mereka telah antipati, (seolah berprinsip) tidak ada hak hidup bagi aliran filsafat, agama asli, atau kepercayaan (baca: folk religion), dengan salah satu dalih isi GBHN 1998 bahwa aliran kepercayaan harus menginduk ke agama resmi.
Mau mencoba merasakan manfaat filsafat Kawruh Jiwa? Silakan tekun hadir dalam jonggringan.

Tri Kadarsilo, salah satu penulis buku “Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram dalam Perspektif”

Resourcehttp://scientiarum.com/2008/04/18/ki-ageng-suryamentaram-filosof-dari-salatiga/

0 comments:

Post a Comment